Social Icons

Pages

Tuesday, July 30, 2013

Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam dalam Bingkai Budaya?

Oleh : Muhammad Mulyadi.

Kajian mengenai peristiwa lumpur Lapindo banyak dibahas dari segi geologi, ekonomi, hukum, sosial, dan politik. Hampir tidak ada kajian lumpur Lapindo dari segi budaya. Memang masalah lumpur Lapindo banyak berkaitan dengan masalah-masalah di luar budaya. Akan tetapi peristiwa lumpur Lapindo sebenarnya juga dapat dilihat dari sisi budaya. Beberapa kajian budaya yang berkaitan dengan bencana alam di antaranya adalah mengenai; pandangan masyarakat mengenai sebab-sebab terjadinya bencana alam, serta pandangan masyarakat Jawa (sebagai korban) terhadap tanah dan tempat tingalnya.
            Selain itu, selama ini pencegahan bahaya bencana alam dan penanganan pasca bencana juga lebih banyak dibahas oleh bidang kajian non-budaya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah sumbangan kajian budaya dalam menangani bencana alam?


Pandangan Masyarakat  Mengenai  Sebab-sebab Bencana
Sebelum “sepakat” ditulis dengan istilah lumpur Lapindo dalam berbagai media massa, istilah untuk bencana alam meluapnya lumpur yang terjadi di kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo sering disebut media massa sebagai Lumpur Sidoarjo. Disingkat dengan Lusi. Penulisan bencana tersebut dengan istilah lumpur Sidoarjo, menyatakan bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Dengan kata lain, penulisan tersebut telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas. Sementara itu, penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya bencana tersebut. Dalam tulisan ini menggunakan istilah lumpur Lapindo dengan alasan ingin menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Dalam hal ini adalah PT Lapindo.
            Dalam sejarah, kepercayaan masyarakat Indonesia mengenai terjadinya suatu bencana alam lebih sering dipandang sebagai sesuatu peristiwa yang disebabkan oleh ulah manusia yang melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang Pencipta kemudian menurunkan bencana sebagai suatu bentuk hukuman atau peringatan karena manusia sudah tidak menghiraukan larangannya. Bentuk bencana pada umumnya dapat berupa banjir, gunung meletus, kecelakaan, dan wabah penyakit. Akan tetapi, dalam kepustakaan sejarah Indonesia belum ditemukan bahwa Sang Pencipta “menghukum” umatnya dengan banjir lumpur. Terlebih oleh lumpur yang muncul dari dalam tanah, bukan yang disebabkan oleh banjir, luapan dari sungai, atau lava yang disebabkan ledakan gunung berapi. Dengan demikian, apabila peristiwa Lapindo ini dianggap sebagai suatu hukuman atau peringatan dari Sang Pencipta, maka inilah hukuman yang bersejarah bagi umat manusia di Indonesia.  
Pandangan masyarakat Indonesia mengenai bencana alam di atas penulis sebut sebagai suatu pandangan yang bersifat agamawi. Sang Pencipta atau kekuatan di luar manusia lah penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.
Akan tetapi, pandangan tersebut bukanlah satu-satunya pendapat yang mewakili pandangan masyarakat Indonesia. Pandangan lainnya dalam melihat bencana alam adalah disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Artinya, manusia lah penyebab dari segala bencana alam yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian, keseimbangan alam atau merusak alam secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Pandangan ini penulis sebut sebagai gejala duniawi. Bukan “kutukan” atau cobaan sang Pencipta, tetapi manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat diterangkan akal sehat yang dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan semata.
Pada beberapa kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seperti bencana tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan banjir di Jakarta menampakkan bahwa pandangan sebagian masyarakat Indonesia mengenai bencana alam telah bergeser dari unsur agamawi menjadi lebih ke unsur duniawi. Hal itu terlihat dari munculnya berbagai analisis ilmiah yang muncul di berbagai media massa elektronik dan cetak yang mencoba menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu bencana alam.
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin rasional. Meskipun demikian, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya hilang. Masih nampak hal-hal yang menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus lumpur Lapindo.
Dalam kasus lumpur Lapindo pandangan masyarakat yang duniawi dan agamawi nampaknya berjalan beriringan. Dalam pandangan duniawi bencana semburan lumpur disebabkan oleh kelalaian dalam pengoperasian ladang gas. PT Lapindo Brantas sebagai pengelola, lalai memasang cashing pengaman. Bukan disebabkan gempa di Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 6,2 skala richer, yang terjadi beberapa waktu sebelum bencana lumpur Lapindo terjadi. Dalam pandangan agamawi atau lebih khusus di sini ditekankan sebagai unsur kepercayaan terhadap sesuatu yang berupa ramalan, maka muncul pula pandangan bahwa inilah suatu titik mula pulau Jawa akan terpecah menjadi dua. Persis ramalan seorang tokoh para normal yang dikutip di berbagai media.
Mengenai penyikapan terhadap bencana ini juga dapat dilihat dari sudut duniawi dan agamawi. Dalam pandangan duniawi lumpur Lapindo terjadi akibat kelalaian perusahaan, sehingga para korban berupaya meminta ganti rugi ke perusahaan yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut.
Dalam pandangan agamawi misalnya terlihat pada sholat Idul Fitri 1427 H yang diikuti ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc di atas tanggul penampungan di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin pagi (23/10). Dalam khotbahnya, KH Maksum Subaeri, seorang tokoh masyarakat dan salah satu pimpinan pondok pesantren di Desa Jatirejo, mengajak seluruh warga korban luapan lumpur Lapindo untuk senantiasa tabah menghadapi cobaan dari Allah SWT. “Semua yang kita miliki adalah titipan Allah SWT dan kita serahkan semua kepada-Nya,” ucap KH Maksum. Desa Jatirejo merupakan salah satu dari delapan desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo yang paling parah terkena dampak luapan lumpur Lapindo.
 

Sikap Masyarakat
Keterikatan masyarakat Jawa dengan tanahnya dapat direpresentasikan melalui salah satu pepatahnya mengenai kedudukan tanah bagi orang Jawa. Pepatah tersebut adalah  sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Pepatah ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar, maka mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
Selain masalah kehormatan, tanah dan tempat tinggal merupakan lingkungan budaya yang penting bagi masyarakat Jawa. Ikatan emosional terhadap lingkungan budaya terutama di rasakan pada masyarakat pedesaan. Dengan keterampilan bertani, desa merupakan tempat masyarakatnya mencari penghidupan, satu desa  merupakan wilayah tempat tinggal seseorang dan juga kerabat-kerabatnya. Leluhur mereka pun di makamkan di dalam lingkungan desa. Tali puser (ari-ari) mereka tanam di desa. Bagi masyarakat Jawa, tempat di tanamnya ari-ari dipercayai sebagai suatu tempat yang akan selalu dirindukan.  Kondisi-kondisi tersebut menjadi basis eksplanasi kenapa masyarakat Jawa begitu kuat ikatannya dengan desa dan lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya. Hal itu pula yang dapat menjelaskan kenapa masyarakat Jawa akan beramai-ramai pulang kampung  bila ada kesempatan, terutama pada hari raya. Tidak peduli betapa sulit perjalanannya dan memerlukan ongkos yang mahal.  
Persoalannya dalam kasus lumpur Lapindo, tanah penduduk hilang bukan karena dirampas atau diganggu oleh seseorang ataupun penguasa. Hilangnya tanah pertanian dan tempat tinggal penduduk disebabkan kelalaian suatu perusahaan, bukan karena akan mendirikan pabrik atau membangun jalan. Tetapi oleh sesuatu yang dikategorikan musibah. Apabila hilangnya lahan mereka disebabkan oleh bencana alam murni, mungkin mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Bencana alam yang muncul lebih disebabkan oleh kelalaian perusahaan. Akibatnya, pandangan orang Jawa mengenai sadhumuk bahtuk ini masih terlihat dalam kasus lumpur Lapindo. Karena dianggap ada pihak yang telah mengganggu tanah dan tempat tinggalnya. Memang tidak memperlihatkan aksi balas dendam karena kehormatannya merasa terganggu, tetapi ketabahan dan keuletan mereka dalam meminta ganti rugi menampakkan pandangan sadhumuk bathuk tersebut. Berbagai upaya mereka jalani agar hak mereka atas tanah dapat  diganti, mulai dari unjuk rasa ke PT Lapindo Brantas, Bupati Sidoardjo. Bahkan mereka tidak segan untuk meminta perhatian dan bantuan pemerintah pusat dengan langsung mendatangi presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun berupaya dihalang-halangi oleh aparat kepolisian.
            Sebagian masyarakat Porong menyadari bahwa akan muncul kesulitan apabila mereka tetap mengharapkan keadaan tanah dan tempat tinggalnya dapat kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana. Seandainya luapan lumpur berhenti pun, pemetaan kembali wilayah bukan masalah yang mudah. Karena kondisi wilayah Porong-Sidoradjo saat ini telah menjadi lautan lumpur. Akan tetapi, karena ikatan budaya seperti yang dijelaskan di atas masih ada sekelompok masyarakat  yang masih mengharapkan untuk dapat menempati tempat tinggalnya kembali.
            Memperhatikan hal tersebut, nampaknya perlu dilihat bahwa wilayah Porong-Sidoarjo bukanlah homogen. Ada wilayah pertanian dan ada juga wilayah industri. Wilayah pertanian meliputi desa-desa dan  wilayah industri meliputi pinggiran kota. Meskipun tidak dilakukan penelitian mendalam mengenai pilihan masyarakat di kedua kelompok tersebut, melalui pengamatan selintas dapat diketahui bahwa kelompok masyarakat pedesaan lebih memilih untuk mencoba bertahan daripada kelompok masyarakat pinggiran kota. Selain alasan budaya, masyarakat pedesaan  mencoba bertahan karena alasan mencari lahan pengganti untuk pertanian tidaklah mudah. Oleh karena itu mereka bergotong royong untuk membuat tanggul penahan lumpur atau mengalihkan aliran lumpur. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di wilayah industri dan mata pencahariannya berkaitan dengan industri, akan lebih mudah meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan harapan dapat menemukan kesempatan kerja di wilayah lain, meskipun kesempatan kerja sangat terbatas. Kalau tidak dikatakan sangat sulit.

Bencana Alam dalam Sejarah Indonesia
            Sejarah mengenai bencana alam di Indonesia, belum banyak ditulis, dan kurang menjadi perhatian para sejarawan Indonesia. Selama hampir tiga puluh tahun jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran berdiri, baru ada dua mahasiswa yang mengambil tema bencana alam. Masing-masing ditulis oleh Rina Ayudin  pada 2002 mengenai meletusnya gunung Krakatau dan Caesario Meizaro pada 2006 mengenai meletusnya gunung Galunggung. Sepengetahuan penulis berdasarkan data pertukaran judul skripsi antar universitas, tema bencana alam belum pernah ada yang menulis. Hal itu menandakan bahwa perhatian sejarawan, terutama sejarawan akademik, terhadap bencana alam masih kurang. Apabila ada sejarawan akademik yang telah memulai concern dengan masalah bencana alam, maka banyak pula mahasiswa yang akan mengikutinya. Logika tersebut penulis bangun berdasarkan indikator  bahwa banyak skripsi bertema pedesaan di Universitas Gajah Mada karena para sejarawan akademik, dosen, di Universitas Gajah Mada banyak yang concern terhadap masalah pertanian. Demikian pula di Universitas Dipenogoro banyak mahasiswa yang menulis skripsi dengan tema maritim karena banyak dosennya yang concern terhadap masalah maritim.
Kurangnya perhatian sejarawan terhadap masalah bencana alam kemungkinan disebabkan  oleh  sedikitnya bencana alam yang terjadi di Indonesia sebelum kasus Tsunami dan gempa bumi di berbagai wilayah Indonesia. Boleh jadi sejarah bencana alam belum dianggap terlalu penting dan mendesak untuk ditulis. Padahal dalam sejarah Indonesia abad 11 telah dinyatakan adanya bencana alam besar (pralaya) sehingga kerajaan mataram kuno berpindah dari Jawa Tengah ke  Jawa Timur. 
Dalam kondisi kekurangan karya sejarah yang berkaitan dengan bencana alam, ada tulisan menarik dari A.B. Lapian dalam buku yang berjudul Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut, AB Lapian menguraikan tentang penyebab-penyebab bencana alam menurut tradisi lisan dan akibat-akibat yang disebabkannya. Menurut A.B. Lapian sebab-sebab terjadinya bencana alam menurut masyarakat tradisional sering diartikan sebagai hukuman kolekftif  terhadap masyarakat yang menaungi pelaku-pelaku yang menyimpang dari norma moral dan etika yang dianut bersama. Lingkungan yang tercemar secara moral perlu dibersihkan dengan bencana alam berupa banjir maupun letusan gunung berapi.
Perilaku-perilaku yang menjadi penyebab terjadinya bencana misalnya berzina, perkawinan incest, tidak menerapkan ajaran agama (melanggar ajaran agama), tidak menghormati tokoh yang disakralkan, atau melanggar kepercayaan lainnya. Kadang-kadang pandangan masyarakat terhadap munculnya bencana alam juga tidak seragam. Misalnya pandangan masyarakat Banten mengenai meletusnya gunung Krakatau pada 1883 menurut masyarakat adalah dilanggarnya tabu oleh Bupati, karena merayakan pesta pernikahan dengan khitanan secara bersamaan. Suatu pantangan adat bagi masyarakat setempat. Sementara masyarakat yang alim menyatakan bahwa bencana tersebut merupakan hukuman dari Tuhan. Hal itu disebabkan Bupati mengadakan tayuban yang disertai ronggeng dan kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.  Dengan demikian sebab-sebab terjadinya bencana alam seperti yang diuraikan oleh A.B. Lapian dapat digolongkan sebagai sebab-sebab agamawi.
Suatu hal lain yang menarik dari uraian A.B. Lapian adalah pandangan sebab terjadinya bencana alam agamawi bukan merupakan monopoli pribumi. Orang Belanda pun percaya bahwa sebab terjadinya letusan Krakatau adalah sebagai oud-testamentisch wraakgericht suatu ganjaran hukuman seperti yang digambarkan oleh kitab perjanjian lama dan perjanjian baru. Dijatuhkannya hukuman tersebut karena Bupati telah menjadi penguasa yang lalim yang berkuasa semena-mena terhadap rakyatnya.
Mengenai akibat bencana alam dari sudut pandang budaya adalah menyadarkan manusia untuk berbuat semua hal sesuai dengan aturan agama. Oleh karena itu, pasca letusan gunung Tambora dan Krakatau penduduk di sekitarnya menjadi lebih taat beragama. Khusus dalam kasus Krakatau, lebih taatnya masyarakat Banten telah menyebabkan ketakutan pemerintah Belanda bahwa masyarakat Banten akan menjadi fanatik. Hal itu terbukti dengan meletusnya perlawanan petani Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1888, yang digerakan oleh golongan alim ulama.
Sementara itu, menurut kajian Caesario Meizaro dampak yang disebabkan oleh meletusnya gunung Galunggung adalah munculnya mata pencaharian baru di wilayah bencana. Mata pencaharian tersebut adalah penambangan pasir yang diakibatkan semburan gunung Galunggung. Mata rantai dari penambangan pasir adalah pembuatan paving blok. Akan tetapi, mayoritas penambangan pasir tersebut dilakukan oleh masyarakat bukan petani. Bagi petani keinginanannya yang utama adalah tetap bertani. Meskipun lahan pertaniannya telah tertutup pasir, para petani tersebut tetap tidak mengusahakan penambangan pasir. Mereka bahkan membiarkan penambang melakukan penambangan pasir di lahan miliknya. Hal itu disebabkan mereka merasa terbantu oleh penambangan tersebut yang mereka anggap telah membersihkan lahan-lahan pertanian mereka. Sehingga ketika pasir sudah habis, dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, para petani baru bisa menggarap sawahnya kembali.
Dengan demikian budaya pertanian di daerah bencana alam gunung Galunggung tidak hilang. Di sini dikatakan budaya pertanian, hal itu disebabkan sistem mata pencaharian merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur pokok kebudayaan. Mata pencaharian lebih dilihat sebagai unsur budaya daripada unsur ekonomi.
Dari kasus gunung Galunggung tersebut dapat dilihat bahwa tidak mudah mengubah suatu budaya. Terlebih budaya pada masyarakat pedesaan yang menyangkut mata pencaharian dan pada wilayah yang masyarakatnya bermata pencaharian homogen, seperti pertanian.

Akankah Muncul Suatu Kebudayaan yang Berkaitan dengan Bencana Alam?
Bencana alam bukan merupakan suatu peristiwa yang rutin terjadi dalam wilayah yang sama di Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia seolah-olah terlena dengan keramahan alamnya. Sering tidak ada persiapan dalam menghadapi bencana.
Akan tetapi, kondisi tersebut harus mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh berubahnya fenomena alam di Indonesia. Banjir terus terjadi secara berulang-ulang di wilayah yang sama. Yogyakarta kerap terkena gempa. Wilayah Jabotabek tidak luput dari ancaman angin puting beliung. Demikian juga dengan wilayah Indonesia lainnya tidak luput dari teror bencana alam.
            Apabila sudah menjadi rutin, mungkinkah muncul suatu adat-istiadat atau sistem budaya yang berkaitan dengan bencana alam? Negara  Jepang  menempati suatu wilayah yang secara geografis rawan akan gempa bumi. Oleh karena itu bangsa Jepang membuat bangunan dan sarana lainnya dengan kontruksi tahan gempa. Nenek moyang kita juga sebenarnya sudah memberikan contoh. Ketika tempat tinggalnya tidak aman karena ancaman binatang buas, maka mereka membangun rumah panggung yang tinggi. Apakah membuat rumah panggung yang tinggi akan menjadi budaya masyarakat di wilayah-wilayah yang kerap menjadi langganan banjir? Atau tetap akan terjebak rutinitas membersihkan rumah dan kehilangan banyak barang setiap banjir datang? Demikian juga bagi masyarakat di Yogyakarta, apakah sudah siap untuk membuat bangunan dan sarana dengan selalu bersandarkan pada kontruksi anti gempa. Bukan keindahan arsitektur semata.
            Selain sarana fisik apakah secara mental juga kita siap menghadapi bencana. Artinya, bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana dan tidak berniat meninggalkan wilayah tersebut maka mereka harus disiapkan untuk tetap tinggal dengan segala resikonya (living with risk). Beberapa bulan yang lalu propinsi Banten kedatangan dua orang walikota dari Jepang. Maksud kedatangan mereka adalah untuk memberikan latihan terhadap masyarakat setempat dalam persiapan menghadapi bencana tsunami. Agar siap secara mental menghadapi bencana. Belajar dari bangsa Jepang, penanganan menghadapi bencana alam ternyata dilakukan dengan  menyeluruh. Baik itu sarana fisik maupun mental. Dengan persiapan yang seperti itu, terbukti korban jiwa dalam setiap gempa yang hebat di Jepang dapat diminmalkan. Bahkan sering tanpa korban manusia sama sekali.
Dalam menciptakan kesiapan menghadapi bencana maupun pasca bencana, pemerintah sebenarnya dapat dan harus melakukan pendekatan yang melibatkan masyarakat/komunitas (community based disaster risk management). Pemerintah dapat memanfaatkan modal sosial yang selama ini sudah mengakar di budaya masyarakat, yakni sikap gotong-royong. Salah satunya adalah rewang, yang biasa dilakukan seseorang untuk membantu tetangga maupun kenalannya dalam mengadakan kenduri. Dapat dimanfaatkan sebagai sikap siap saling membantu apabila wilayah tetangga terkena gempa. Satu tradisi lainnya lagi yaitu paketan, suatu sistem saling menyumbang dalam bentuk bahan makanan antar warga desa apabila diselenggarakan suatu kenduri oleh seorang warganya. Hal ini juga bisa dimanfaatkan dengan mengubahnya dari mengumpulkan bahan makanan, menjadi mengumpulkan uang bagi keperluan warga yang menjadi korban bencana. Berbeda dengan paketan yang diadakan beberapa hari menjelang diadakannya kenduri. Paketan bencana dipersiapkan untuk menghadapi bencana.
Sampai saat ini, yang dilakukan pemerintah masih bersifat sektoral, bukan dengan penanganan bencana berbasis kawasan/komunitas. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang ada di setiap kabupaten kurang optimal. Selama ini, masih banyak satlak yang hanya ada di SK Bupati/Walikota. Bukan di lapangan Selain itu, Badan Koordinasi Nasional selama ini juga masih bersifat koordinatif dan ad-hoc.
Bagi bangsa Indonesia, ada hal lain yang perlu ditekankan yaitu menyangkut menjaga kelestarian alam. Sehingga bencana alam yang disebabkan oleh manusia bisa diminimalkan. Hal lainnya adalah mengenai kehati-hatian dalam kerja. Dengan bencana lumpur yang diakibatkan kelalaian PT Lapindo, pemerintah maupun PT Lapindo sendiri sulit menanganinya. Bagaiamana akan menangani kelalaian kerja pada reaktor nuklir?


Kesimpulan
            Tulisan ini tidak memberikan sesuatu hal yang pasti mengenai sumbangan ilmu budaya dalam bencana alam. Hanya sekedar memberi kemungkinan-kemungkinan untuk dikembangkannya budaya yang sudah ada di masyarakat yang berkaitan dengan bencana alam. Maupun membentuk budaya baru yang berkaitan dengan bencana alam.
Dalam bidang non fisik hendaknya dikembangkan budaya yang telah mengakar di masyarakat Indonesia yaitu sikap gotong royong, rewang, dan paketan.  Selain itu, perlu juga dikembangkan budaya baru yang berkaitan dengan bencana alam. Budaya baru yang dibangun dipersiapkan untuk membangun mentalitas masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana supaya waspada terhadap ancaman bahaya bencana dan terlatih menghadapi bencana. Sah-sah saja apabila bencana alam dikaitkan dengan kepercayaan tertentu, tetapi harus diyakini juga bahwa beberapa bencana alam adalah gejala alam yang dapat diprediksi. Kemampuan membaca atau memprediksi bencana alam itulah yang harus menjadi pengetahuan, budaya baru, bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Keterlibatan masyarakat dalam segala tindakan bencana sebaiknya mulai dikembangkan. Tidak perlu menunggu inisiatif pemerintah justru inisiatif masyarakatlah yang utama.
Pilihan kebudayaan yang berkaitan dengan bencana dalam bentuk fisik adalah dengan membangunan tempat tinggal yang mengutamakan kontruksi tahan gempa, terhindar dari banjir maupun kokoh bila disapu puting beliung. Untuk menuju hal itu perlu dipikirkan kembali untuk membangun rumah alternatif di wilayah rawan bencana. Rumah berbahan kayu di wilayah rawan gempa, dan rumah panggung (tidak perlu berbahan kayu) di wilayah rawan banjir.
Khusus korban lumpur Lapindo yang merupakan petani, hendaknya perlu diperhatikan bahwa ganti rugi berupa uang hendaknya dapat digunakan kembali untuk membeli lahan pertanian. Bukan hanya cukup untuk tempat tinggalnya saja. Hal itu disebabkan bahwa tanggung jawab PT Lapindo tidak hanya sekedar memindahkan penduduk, tetapi secara moral dan ekonomi juga harus berupaya memberdayakan kembali masyarakat. Belajar dari kasus bencana alam meletusnya gunung Galunggung, korban yang bermata pencaharian bertani akan sulit berpindah mata pencaharian. Baik karena alasan budaya maupun keterbatasan skill.

Muhammad Mulyadi, Dosen Jurusan Sejarah Unpad
Daftar Sumber sengaja tidak ditulis

No comments:

Post a Comment

 

Sample text

Sample Text

Total Pageviews